Selasa, 22 Maret 2011

WATER BORNE DISEASES

SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome)

DEFINISI
SARS adalah Severe Acute Respiratory Syndrome atau tanda-tanda gangguan pernapasan berat yang terjadi secara akut.

EPIDEMIOLOGI
Penyebaran SARS diketahui melalui kontak langsung dengan penderita. Ludah , dahak , dan cairan yang dikeluarkan penderita sewaktu bersin dan batuk , serta aliran udara pernapasan penderita merupakan media penularan.Penyebaran SARS adalah virus kelompok Corona ,sekelompok dengan virus penyebab influenza biasa. Kelihatannya virus influenza biasa berubah menjadi ganas dan sulit dikendalikan.

TANDA DAN GEJALA
Menurut WHO, kriteria penderita SARS sebagai berikut
1. Demam tinggi lebih dari 38 derajat Celsius.
2. Mengidap satu atau lebih gejala pernapasan, seperti batuk, sesak napas, napas pendek, dan kesulitan bernapas.
3. Mengalami satu atau lebih keadaan berikut
a. Dalam sepuluh hari terakhir sebelum sakit telah melakukan kontak erat dengan seseorang yang telah didiagnosis SARS.
b. Dalam sepuluh hari terakhir melakukan perjalanan ke tempat yang dilaporkan sebagai fokus penularan SARS (Cina, Hongkong, Vietnam, dan Kanada)
4. Menderita gejala-gejala fisik
a. Sakit kepala
b. Nyeri otot
c. Nafsu makan hilang
d. Lemah
e. Timbul kemerahan di kulit
f. Timbul sariawan atau luka di mulut
g. Diare
Pada pemeriksaaan laboratorium darah ditemukan trombositopeni dan leukopeni. Rontgen photo thorax tampak tanda-tanda radang paru (pneumoni). Masa inkubasi 2-7 hari.

DAMPAK
SARS berdampak pada dunia pariwisata, transportasi, pendidikan, pengiriman tenaga kerja, pertandingan sepakbola dan perdagangan antar negara. Belum ada sebelumnya suatu penyakit yang berimbas begitu besar pada sektor ekonomi, kecuali epidemi pes yang berkecamuk lebih dari 50 tahun di Asia dan Eropa pada awal abad 18 yang diperkirakan membunuh lebih dari 100 juta orang.

PENCEGAHAN
Para peneliti sedang bekerja pada beberapa jenis vaksin untuk SARS, tetapi tidak ada telah diuji pada manusia. Jika infeksi SARS melanjutkan, ikuti petunjuk keselamatan jika Anda merawat orang yang terinfeksi:
a. Cuci tangan Anda. Bersihkan tangan Anda sering dengan sabun dan air panas atau menggunakan tangan berbasis alkohol gosok yang mengandung paling sedikit 60 persen alkohol.
b. Pakailah sarung tangan sekali pakai,. Jika Anda telah menghubungi seseorang tubuh dengan cairan atau kotoran memakai sarung tangan sekali pakai. Throw the gloves away immediately after use and wash your hands thoroughly. Melemparkan sarung tangan segera setelah digunakan dan cuci tangan Anda secara menyeluruh.
c. Memakai masker bedah. Ketika Anda di ruang yang sama sebagai orang dengan SARS, menutup mulut dan hidung dengan masker bedah. Mengenakan kacamata mungkin juga menawarkan perlindungan.
d. Cuci barang pribadi. Gunakan sabun dan air panas untuk mencuci peralatan, handuk, selimut dan pakaian dari seseorang dengan SARS.
e. Hama permukaan. Gunakan rumah tangga disinfektan untuk membersihkan permukaan yang mungkin telah terkontaminasi dengan keringat, air liur, lendir, muntah, tinja atau urin. Pakailah sarung tangan sekali pakai saat Anda membersihkan dan membuang sarung tangan setelah Anda selesai.
Ikuti semua tindakan pencegahan untuk setidaknya 10 hari setelah tanda-tanda orang itu dan gejala hilang. Jauhkan anak-anak pulang dari sekolah jika mereka mengembangkan demam atau gejala pernafasan dalam waktu 10 hari setelah terpapar seseorang dengan SARS. Anak-anak dapat kembali ke sekolah jika tanda-tanda dan gejala hilang setelah tiga hari.

PENGOBATAN
Penderita SARS perlu segera ditolong untuk mendapat perawatan dengan isolasi.
1. Antibiotik, kadang diperlukan bila ada radang paru yang atipik
2. Obat antivirus, juga digunakan
3. Kortikosteroid dosis tinggi untuk mengurangi reaksi radang paru
4. Pada penderita serius dan berat bisa dipakai serum dari penderita SARS yang sudah sembuh
5. Obat lain, oksigen, pisioterapi rongga dada, dan alat bantu pernapasan digunakan pada penderita yang dirawat.

REFERENSI
WHO. 2004 Communicable Disease Surveilance and Response (CSR),New Case of Laboratory-Confirmed SARS in Guangdong,China Update, January 31, 2004.
Yatim, Faisal. 2007. Macam-macam Penyakit Menular dan Cara Pencegahannya Jilid 2. Jakarta: Obor Populer.


MEI DHIAN CHRISTANTI
E2A009001
FKM UNDIP 2009

FOOD BORNE DISEASES


FOOD AND WATER BORNE DISEASES
Food and water borne disease adalah suatu penyakit yang dapat menular dari satu orang ke orang lain karena makan dan minuman yang telah terkontaminasi melalui fecal dan oral atau tangan yang tidak bersih. Food and water borne disease dianggap penting dan patut untuk diwaspadai karena pada jaman sekarang ini dimana jumlah penduduk semakin padat, semakin tinggi pula kadar kontaminasi karena supplai air yang semakin tercemar, semakin meningkatkan bahaya makanan yang terkontaminasi.
Berikut ini salah satu contoh Food and water borne disease :
DEMAM TIFOID
Demam Tifoid adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di beberapa Negara berkembang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.Angka kesakitan demam tifoid menurut hasil survei di rumah sakit meningkat dari tahun ke tahun dan menduduki tempat nomor 2 diantara 10 penyakit menular yaitu sebesar 34 % pada tahun 1981 sampai dengan 1986. Angka kematian akibat penyakit ini mengalami penurunan sebesar 3,3 % pada tahun 1978. Selain itu beberapa peneliti juga melaporkan adanya kecenderungan terjadinya peningkatan kekebalan terhadap obat pilihan untuk terapi demam tifoid. Insidens tertinggi demam tifoid terdapat pada anak-anak. Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi klinis yang ringan.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun.
Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
Angka kematian penyakit demam tifoid di negara sedang berkembang berkisar antara 2,3 – 16,8 %,sedang hasil survai rumah sakit di indonesia sebesar 3,4%.Penyebab utama kematian penderita adalah perdarahan dan perforasi intestinal. Angka kejadian komplikasi ini berfariasi, masing – masing 1-8% untuk perdarahan intestinal dan 1-5% untuk perforasi intestinal,sedangkan angka kematiannya juga bervariasi yaitu 0,5 – 2,5 % ( perdarahan intestinal ) dan 0,8-2,7% (perforasi intestinal). Tingginya angka kematian sangat tergantung dari beberapa faktor,diantaranya adalah:




  1.  Kelambatan pada tindakan penanganan
  2. Dosis obat kurang adekuat 
  3. Status gizi kurang
  4. Keadan umumpenderita waktu datang
  5. Adanya penyakit penyerta
  6. Adanya komplikasi

PENYEBAB DEMAM TIFOID
Habitat Inang bagi Salmonella adalah usus halus manusia dan hewan. Makanan dan minuman terkontaminasi merupakan mekanisme transmisi kuman Salmonella dan carrier adalah sumber infeksi. Salmonella typhi bisa berada dalam air, es, debu, sampah kering yang bila organisme ini masuk ke dalam vehicle yang cocok (daging, kerang dan sebagainya) akan berkembang biak mencapai dosis infekti.
Dimensi Bakteri berbentuk batang, tidak berspora dan tidak bersimpai tetapi mempunyai flagel feritrik (fimbrae), pada pewarnaan gram bersifat gram negatif, ukuran 2 - 4 mikrometer x 0.5 - 0.8 mikrometer dan bergerak. Salmonella typhi merupakan bakteri fakultatif intraseluler. Salmonella juga memiliki dua pathogenicity island yaitu SPI-1 dan SPI-2. SP-2 mengandung gen esensial untuk infeksi sistemik, replikasi intraseluler dan TTSS (type III secretion system) yang melindungi bakteri untuk tetap hidup dari proses degradasi.
Potensi Demam tifoid yang disebabkan oleh Salmonella typhi merupakan penyakit sistemik, bersifat endemik, dan masih merupakan problema kesehatan diberbagai Negara berkembang di dunia.
Salmonella typhi memiliki protein adhesin type-] fimbriae sebagai faktor virulensi yang berpotensi imunogenik untuk membentuk SigA protektif guna menghambat proses adhesi dan kolonisasi sehingga tahap awal infeksinya dapat dicegah. Fisiologis Pada umumnya isolat kuman Salmonella dikenal dengan sifat sifat, gerak positif, reaksi fermentasi terhadap manitol dan sorbitol positif dan memberikan hasil negatif pada reaksi indol, laktosa, Voges Praskauer dan KCN. Sebagian besar isolat Salmonella yang berasal dari bahan klinik menghasilkan H2S.
Samonella thypi hanya membentuk sedikit H2S dan tidak membentuk gas pada fermentase glukosa. Pada agar SS,Endo, EMB dan MacConkey koloni kuman berbentuk bulat, kecil dan tidak berwana, pada agar Wilson Blair koloni kuman berwarna hitam berkilat logam akibat pembentukan H2S.

DISTRIBUSI DEMAM TIFOID
Penyakit ini tersebar merata diseluruh dunia. Insidensi penyakit demam tifoid diseluruh dunia mencapai 17 juta setahun dengan jumlah kematian sebanyak 600.000 orang. Di Amerika Serikat demam tifoid muncul sporadis dan relatif konstan berkisar antara 500 kasus setahun selama bertahun-tahun (bandingkan dengan demam tifoid yang dilaporkan sebanyak 2484 pada tahun 1950). Dengan memasyarakatnya perilaku hidup bersih dan sehat, memasyarakatnya pemakaian jamban yang saniter maka telah terjadi penurunan kasus demam Tifoid, dan yang terjadi di Amerika Serikat adalah kasus import dari daerah endemis. Sekarang sering ditemukan strain yang resisten terhadap kloramfenikol dan terhadap antibiotika lain yang umum digunakan untuk demam tifoid. Kebanyakan isolat yang dikumpulkan pada tahun 90an dari Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah dan Afrika Timur Laut adalah strain yang membawa plasmid dengan faktor R yang membawa kode resistens terhadap berbagai jenis antibiotika yang dulu umum dipakai untuk mengobati demam tifoid seperti kloramfenikol, amoksisilin, trimetroprim/sulfametoksasol. Demam paratifoid muncul secara sporadis atau muncul sebagai KLB terbatas, mungkin juga kejadiannya lebih banyak daripada yang dilaporkan. DI AS dan Kanada demam paratifoid jarang teridentifikasi. Dari ketiga jenis demam paratifoid, paratifoid B adalah yang paling sering ditemukan, paratifoid A lebih jarang dan yang paling jarang adalah paratifoid C.

RESERVOIR DEMAM TIFOID
Manusia merupakan reservoir bagi tifoid maupun paratifoid; walapun jarang binatang peliharaan dapat berperan sebagai reservoir bagi paratifoid. Kontak dalam lingkungan keluarga dapat berupa carrier yang permanen atau carrier sementara. Status carrier dapat terjadi setelah serangan akut atau pada penderita subklinis.
Sedangkan carrier kronis sering terjadi pada mereka yang kena infeksi pada usia pertengahan terutama pada wanita; carrier biasanya mempunyai kelainan pada saluran empedu termasuk adanya batu empedu. Status carrier kronis pada saluran kemih terjadi pada penderita schitosomiasis. Pernah terjadi KLB demam paratifoid di Inggris, sapi perah yang mengeluarkan mikroorganisme Paratyphi B didalam susu dan kotoran mereka diketahui sebagai penyebab terjadinya KLB.
Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit
demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.


GEJALA DAN TANDA DEMAM TIFOID
Biasanya gejala mulai timbul secara bertahap dalam waktu 8-14 hari setelah terinfeksi. Gejalanya bisa berupa demam, sakit kepala, nyeri sendi, sakit tenggorokan, sembelit, penurunan nafsu makan dan nyeri perut. Kadang penderita merasakan nyeri ketika berkemih dan terjadi batuk serta perdarahan dari hidung. Jika pengobatan tidak dimulai, maka suhu tubuh secara perlahan akan meningkat dalam waktu 2-3 hari, yaitu mencapai 39,4-40°C selama 10-14 hari. Panas mulai turun secara bertahap pada akhir minggu ketiga dan kembali normal pada minggu keempat. Demam seringkali disertai oleh denyut jantung yang lambat dan kelelahan yang luar biasa. Pada kasus yang berat bisa terjadi delirium, stupor atau koma. Pada sekitar 10% penderita timbul sekelompok bintik-bintik kecil berwarna merah muda di dada dan perut pada minggu kedua dan berlangsung selama 2-5 hari.

DIAGNOSIS DEMAM TIFOID
Untuk keakuratan dalam penegakan diagnosa penyakit, dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan laboratorium diantaranya pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan Widal dan biakan empedu.
a.       Pemeriksaan darah tepi merupakan pemeriksaan sederhana yang mudah dilakukan di laboratorium sederhana untuk membuat diagnosa cepat. Akan ada gambaran jumlah darah putih yang berkurang (lekopenia), jumlah limfosis yang meningkat dan eosinofilia.
b.         Pemeriksaan Widal adalah pemeriksaan darah untuk menemukan zat anti terhadap kuman tifus. Widal positif kalau titer O 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan progresif.
c.       Diagnosa demam Tifoid pasti positif bila dilakukan biakan empedu dengan ditemukannya kuman Salmonella typhosa dalam darah waktu minggu pertama dan kemudian sering ditemukan dalam urine dan faeces.
Sampel darah yang positif dibuat untuk menegakkan diagnosa pasti. Sample urine dan faeces dua kali berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh dan bukan pembawa kuman (carrier).
Sedangkan untuk memastikan apakah penyakit yang diderita pasien adalah penyakit lain maka perlu ada diagnosa banding. Bila terdapat demam lebih dari lima hari, dokter akan memikirkan kemungkinan selain demam tifoid yaitu penyakit infeksi lain seperti Paratifoid A, B dan C, demam berdarah (Dengue fever), influenza, malaria, TBC (Tuberculosis), dan infeksi paru (Pneumonia).
KERENTANAN DAN KEKEBALAN
Setiap orang rentan terhadap infeksi, kerentanan ini meningkat pada orang yang menderita akhlorhidria atau pada orang yang menderita infeksi HIV. Imunitas spesifik relatif dapat timbul setelah seseorang mengalami infeksi baik yang menunjukkan gejala klinis maupun pada mereka yang tapa gejala. Imunitas dapat juga muncul setelah pemberian imunisasi. Didaerah endemis demam tifoid sering ditemukan pada anak prasekolah dan anak-anak berusia 5 – 19 tahun.
PENANGGULANGAN DEMAM TIFOID
a. cara-cara pencegahan

1. Berikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya mencuci tangan setelah buang air besar dan sebelum memegang makanan dan minuman, sediakan fasilitas untuk mencuci tangan secukupnya. Hal ini terutama penting bagi mereka yang pekerjaannya sebagai penjamah makanan dan bagi mereka yang pekerjaannya merawat penderita dan mengasuh anak-anak.
2. Buanglah kotoran pada jamban yang saniter dan yang tidak terjangkau oleh lalat. Pemakaian kertas toilet yang cukup untuk mencegah kontaminasi jari. Ditempat yang tidak ada jamban, tinja ditanam jauh dari sumber air dihilir.
3. Lindungi sumber air masyarakat dari kemungkinan terkontaminasi. Lakukan pemurnian dan pemberian klorin terhadap air yang akan didistribusikan kepada masyarakat. Sediakan air yang aman bagi perorangan dan rumah tangga. Hindari kemungkinan terjadinya pencemaran (backflow) antara sistem pembuangan kotoran (sewer system) dengan sistem distribusi air. Jika bepergian untuk tujuan pikinik atau berkemah air yang akan diminum sebaiknya direbus atau diberi bahan kimia.
4. Berantas lalat dengan menghilangkan tempat berkembang biak mereka dengan sistem pengumpulan dan pembuangan sampah yang baik. Lalat dapat juga diberantas dengan menggunakn insektisida, perangkap lalat dengan menggunakan umpan, pemasangan kasa. Jamban konstruksinya dibuat sedemikian rupa agar tidak dapat dimasuki lalat.
5. Terapkan standar kebersihan pada waktu menyiapkan dan menangani makanan; simpan makanan dalam lemari es pada suhu yang tepat. Perhatian khusus harus diberikan pada salad dan makanan lain yang dihidangkan dalam keadaan dingin. Standar kebersihan ini berlaku untuk makanan yang disiapkan dirumah tangga maupun yang akan disajikan untuk umum. Jika kita kurang yakin akan standar kebersihan ditempat kita makan, pilihlah makanan yang panas dan buah-buahan sebaiknya dikupas sendiri.
6. Lakukan pasteurisasi terhadap susu dan produk susu. Lakukan pengawasan yang ketat terhadap sanitasi dan aspek kesehatan lainnya terhadap produksi, penyimpanan dan distribusi produk susu.
7. Terapkan peraturan yang ketat tentang prosedur jaga mutu terhadap industri yang memproduksi makanan dan minuman. Gunakan air yang sudah diklorinasi untuk proses pendinginan pada waktu dilakukan pengalengan makanan.
8. Batasi pengumpulan dan penjualan kerang-kerangan dari sumber yang jelas yang tidak tercemar. Rebuslah kerang sebelum dihidangkan.
9. Beri penjelasan yang cukup kepada penderita, penderita yang sudah sembuh dan kepada carrier tentang cara-cara menjaga kebersihan perorangan. Budayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan.
10. Promosikan pemberian air susu ibu kepada bayi yang sedang menyusui. Rebuslah susu dan air yang akan dipakai untuk makanan bayi.
11. Carrier dilarang untuk menangani/menjamah makanan dan dilarang merawat penderita. Lakukan identifikasi terhadap carrier dan lakukan pengawasan terhadap mereka. Pembuatan kultur dari sampel limbah dapat membantu untuk menentukan lokasi carrier. Carrier kronis harus diawasi dengan ketat dan dilarang melakukan pekerjaan yang dapat menularkan penyakit kepada orang lain. Yang bersangkutan dapat dibebaskan dari larangan ini apabila sudah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu tiga kali berturut-turut sampel tinja yang diperiksa menunjukkan hasil negatif, khusus untuk daerah endemis schistosomiasis sampel yang diambil adalah sampel urin. Sampel diambil dengan interval satu bulan dan 48 jam setelah pemberian antibiotika terakhir. Sampel yang baik adalah tinja segar. Dan dari tiga sampel yang berturut-turut diambil dengan hasil negatif minimal satu sampel harus diambil dengan cara melakukan lavemen/klisma. Penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini menemukan bahwa penggunaan derivat quinolone yang baru yang diberikan secara oral memberikan hasil yang baik untuk mengobati carrier walaupun ada kelainan empedu; untuk mengetahui apakah telah terjadi penyembuhan perlu dilakukan pemeriksaan kultur.
12. Untuk demam tifoid pemberian imunisasi tidak dianjurkan di AS. Saat ini imunisasi hanya diberikan kepada mereka dengan risiko tinggi seperti petugas laboratorium mikrobiologis, mereka yang bepergian kedaerah endemis, mereka yang tinggal didaerah endemis, anggota keluarga dengan carrier. Vaksin yang tersedia adalah vaksin oral hidup yang mengandung S. Typhi strain Ty21a (diperlukan 3 – 4 dosis dengan interval 2 hari), dan vaksin parenteral yang beredar adalah vaksin dosis tunggal yang berisi Vi antigen polisakarida. Vaksin oral yang berisi Ty21a jangan diberikan kepada penderita yang sedang mendapatkan pengobatan antibiotika atau pengobatan anti malaria, mefloquine. Oleh karena sering menimbulkan efek samping yang berat maka vaksin “whole cell” yang diinaktivasi dianjurkan untuk tidak digunakan. Vaksin dosis tunggal yang mengandung Vi antigen polisakarida adalah vaksin pilihan, karena kurang reaktogenik. Dosis booster perlu diberikan kepada mereka yang secara terus menerus mempunyai risiko tertular. Booster diberikan dengan interval antara 2 – 5 thun tergantung jenis vaksinnya. Demam paratifoid: ujicoba dilapangan dengan menggunakan vaksin oral tifoid (Ty21a) memberikan perlindungan parsial terhadap paratifoid, namun perlindungan yang diberikan tidak sebaik terhadap tifoid.

b. pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya

1) Laporan kepada institusi kesehatan setempat; Tifoid wajib dilaporkan disebagian besar negara bagian dan negara didunia, kelas 2A (Lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2) Isolasi: Pada waktu sakit, lakukan kewaspadaan enterik; sebaiknya perawatan dilakukan dirumah sakit pada fase akut. Supervisi terhadap penderita dihentikan apabila sampel yang diambil 3 kali berturut-turut dengan interval 24 jam dan 48 jam setelah pemberian antibiotika terakhir memberikan hasil negatif. Pengambilan sampel tidak boleh kurang dari satu bulan setelah onset. Sampel yang diambil adalah tinja dan urin untuk penderita di daerah endemis schistosomiasis. Jika salah satu sampel memberi hasil positif maka ulangi pembuatan kultur dengan interval satu bulan selama 12 bulan setelah onset, sampai 3 kali beturu-turut sampel yang diambil hasilnya negatif.
3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap tinja, urin dan alat-alat yang tercemar. Di negara maju dengan fasilitas sistem pembuangan kotoran yang baik, tinja dapat dibuang langsung kedalam sistem tanpa perlu dilakukan disinfeksi terebih dulu. Dilakukan pembersihan menyeluruh.
4) Karantina: Tidak dilakukan
5) Imunisasi terhadap kontak: Pemberian imunisasi rutin terhadap anggota keluarga, petugas kesehatan dengan vaksin tifoid kurang begitu bermanfaat walaupun mereka terpajan dengan penderita tifoid. Namun vaksinasi masih bermanfaat diberikan kepada mereka yang terpajan dengan carrier. Tidak ada vaksin yang efektif untuk demam paratifoid A.
6) Lakukan investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Sumber infeksi yang sebenarnya dan sumber infeksi yang potensial harus diidentifikasi dengan cara melakukan pelacakan penderita yang tidak dilaporkan, carrier dan melacak makanan, susu, air, kerang-kerangan yang terkontaminsai. Seluruh anggota grup pelancong yang salah satu anggotanya adalah penderita tifoid harus diamati. Titer antibodi terhadap purified Vi polysaccharide mengidentifikasikan yang bersangkutan adalah carrier. Jika ditemukan tipe phage yang sama pada organisme yang diisolasi dari penderita dan carrier menunjukan telah terjadi penularan.
7) Pengobatan spesifik: Meningkatnya resistensi terhadap berbagai macam strain menentukan jenis obat yang dipakai untuk terapi secara umum, untuk orang dewasa ciprofloxacin oral dianggap sebagai obat pilihan terutama untuk penderita tifoid di Asia. Belakangan ini dilaporkan bahwa telah terjadi penurunan sensitivitas pada penelitian in vivo terhadap berbagai strain Asia. Untuk strain lokal yang masih sensitf terhadap pengobatan maka obat-obatan oral seperti kloramfenikol, amoksisilin atau TMP-SMX (untuk anak-anak) masih cukup efektif untuk mengobati penderita akut. Sedangkan ceftriaxone obat parenteral yang diberikan sekali sehari sangat bermanfaat diberikan kepada penderita obtunded atau kepada penderita dengan komplikasi dimana tidak bisa diberikan pengobatan antibiotika oral. Pemberian kartikosteroid dosis tinggi dalam jagka pendek dikombinasikan dengan pemberian antibiotika serta terapi suportif membantu menurunkan angka kematian pada penderita berat. Untuk pengobatan kepada carrier lihat uraian pada bagian 9A11 diatas. Penderita schistosomiasis yang menderita tifoid selain 562 pemberian terapi untuk tifoidnya maka diberikan juga praziquantel untuk menghilangkan kemungkinan cacing schistosoma membawa basil S. Typhi.

c. cara penanggulangan wabah

1.  Lakukan pelacakan secara intensif terhadap penderita dan carrier yang berperan sebagai smber peularan. Cari dan temukan media (air, makanan) yang tercemar yang menjadi sumber penularan.
2. Lakukan pemusnahan terhadap makanan yang diduga sebagai sumber penularan.  Lakukan pasteurisasi atau rebuslah susu yang akan dikonsumsi. Singkirkan seluruh suplai susu dan makanan yang diduga tercemar untuk tidak dikonsumsi pada saat sampai diketahui bahwa susu dan makanan tersebut aman untuk dikonsumsi.
3. Terhadap sumber air yang diduga tercemar dilakukan klorinasi sebelum digunakan dengan supervisi yang ketat. Apabila tindakan klorinasi tidak dapat dilakukan, air dari sumber yang diduga tercemar tersebut jangan digunakan, semua air minum harus diklorinasi, diberi iodine atau direbus sebelum diminum.
4. Pemberian imunisasi secara rutin tidak dianjurkan.


REFERENSI

Anonim. 2008. Salmonella typhi.http://en.wikipedia.org/wiki/Salmonella_typhi.

Chin,James MD, MPH. Kandun, I Nyoman.2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17. 

Cleary TG. Salmonella. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Eds. Nelson Textbook of Pediatrics, edisi 16. Philadelphia : WB Saunders, 2000:842-8.

Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI, 2002:367-75.

Gerald L. Mandell, John E. Bennett, and Raphael Dolin Eds; 2005.Prinsip dan Praktek Penyakit Menular (6 th Edition), Gerald L. Mandell, John E. Edition), Bennett, dan Eds Dolin Raphael; 2005.


MEI DHIAN CHRISTANTI
E2A009001
FKM UNDIP 2009